Di tahun 2000, di tengah hamparan hijau kebun teh Kayu Aro, berdiri sebuah SMP kecil yang menjadi saksi bisu cinta pertama dua remaja. Sebut saja D, seorang pemuda sederhana yang hidupnya penuh perjuangan. Meski serba kekurangan, hatinya penuh ketulusan. Lalu ada S, gadis cantik yang menjadi bunga desa. Pesonanya membuat banyak pria terpikat, hingga ia dijuluki "Madona Kayu Aro."
D menyukai S sejak pandangan pertama. Baginya, S adalah definisi sempurna dari keindahan. Setiap pagi, ia sengaja berangkat lebih awal, berharap bisa bertemu S di jalan menuju sekolah. Meski merasa dirinya tak pantas, D akhirnya memberanikan diri mengungkapkan perasaannya. Tak disangka, S menerimanya. Sejak saat itu, mereka menjalin hubungan yang menjadi bahan pembicaraan di sekolah.
Namun, cinta D ternyata berjalan di atas jurang kerapuhan. Ketulusan yang ia berikan tak sepenuhnya disambut oleh S. Meski S mengangguk menerima cintanya, jauh di dalam hatinya, ia merasa hubungan itu lebih didasari rasa kasihan. S, yang memiliki banyak pengagum, sering kali terlihat bersama pria lain, menyisakan luka yang perlahan menggerogoti hati D.
Suatu sore, ketika D menunggu S di pasar Bedeng Lapan, ia dikejutkan oleh sekelompok pemuda. Mereka adalah teman-teman pria yang juga menyukai S. Dengan penuh amarah, mereka mengepung D dan memukulinya tanpa ampun. Tubuh D terjatuh ke tanah, namun ia hanya mampu menahan sakit sambil mengingat senyum S yang menjadi alasan semua ini terjadi.
Setelah kejadian itu, hubungan mereka mulai renggang. D tetap berusaha bertahan, tapi S semakin menjauh. Saat kelulusan tiba, S pergi meninggalkan Kayu Aro untuk melanjutkan sekolah, sementara D tetap di desa, melanjutkan hidup dengan hati yang hancur.
Tahun demi tahun berlalu. D berjuang membangun kehidupannya sendiri. Ia pindah ke Jambi, menjadi seorang suami dan ayah yang penuh tanggung jawab. Wajah S perlahan memudar dalam ingatannya, meski luka yang ditinggalkan tetap terasa. Hingga suatu hari, tanpa sengaja, takdir mempertemukan mereka kembali.
Pertemuan itu terjadi di sebuah acara pilkada. D yang kini telah matang dan dewasa, melihat S yang juga sudah berkeluarga. Tatapan mereka bertemu, dan di balik senyum S, D merasakan kehangatan yang pernah ia rindukan. Mereka berbincang singkat, mengenang masa lalu. Namun, di dalam hatinya, D tahu segalanya telah berubah.
Beberapa hari kemudian, S menghubungi D lewat telepon. Dalam suaranya yang lirih, ia meminta maaf atas apa yang terjadi di masa lalu. S mengakui bahwa ia sebenarnya pernah mencintai D, namun ketakutannya pada tekanan dari keluarga dan lingkungannya membuatnya memilih menjauh. Telepon itu menjadi pembicaraan terakhir mereka.
D menutup telepon dengan perasaan campur aduk. Ia tersenyum pahit, menyadari bahwa cinta sejati bukan tentang memiliki, tetapi merelakan. Masa lalu adalah bagian dari hidupnya, namun masa kini adalah kenyataan yang harus ia jaga. Ia kembali ke keluarganya, istri yang setia dan anak-anak yang penuh cinta. Di sana, D menemukan kebahagiaan sejati yang tak tergantikan.
Kebun teh Kayu Aro, yang dulu menjadi saksi cinta pertama D, kini hanya menjadi bagian dari kenangan. Meski cinta itu tertinggal di masa lalu, ia membawa pelajaran berharga: bahwa cinta sejati adalah keikhlasan untuk melepas, demi kebahagiaan yang lebih besar.
Facebook Comments